Mukharom.com – Kerja di Ibukota Jakarta merupakan cita-cita banyak orang di Negeri ini, termasuk saya. Ya itu dulu, sewaktu sekolah dulu saya sempat bercita-cita bekerja di Jakarta, kerja kantoran di Gedung Pencakar langit. Kata orang-orang memang cita-cita harus di gapai setinggi langit. Bagi sebagian orang kerja kantoran di Kota Jakarta itu keren, pakai kemeja dengan setelan rapi. Ditambah dengan olesan pomade di rambut yang membuat rambut berkilau, masuk ke lift menuju ruang kerja.
Kalau memang rumah di dekat kantor mungkin bisa sedikit berbahagia, bisa menghabiskan wakti di jalanan lebih sedikit. Bagaimana kabar mereka yang tinggal di luar Ibukota dan kerja di Jakarta? Harus kuat, menghadapi lalu lintas Ibukota, itu yang saya rasakan.
Saya merasa sangat bersyukur bisa bekerja di Kampung, kampung halaman saya sejak lahir. Di Kampung Bekasi, dengan jarak tempuh ke tempat kerja sekitar 9 KM dari Barat ke Timur Kota Bekasi. Rata-rata perjalanan yang saya tempuh untuk berangkat bekerja adalah sekitar 25menit, cukup cepat dibanding para pekerja yang bekerja di Jakarta.
Saya baru merasakannya ketika sewaktu-waktu saya diberi tugas ke daerah Jakarta untuk mengunjungi customer. Paling lambat saya harus datang 1,5 jam sebelum waktu pertemuan, itu kalau kamu yakin tidak ada hambatan di perjalanan. Ya saya selalu memilih transportasi umum dibandingkan dengan membawa kendaraan pribadi, alasannya simple: macet, panas, polusi, dan berbagai keluhan lainnya. Namun kita harus kuat mental jika menggunakan transportasi umum, bersaing dengan penumpang lain yang sama-sama ingin datang ke kantor tepat waktu.
Di jam berangkat serta pulang kerja, transportasi umum kekurangan oksigen. Bayangkan saja, ribuan orang setiap harinya menggunakan transportasi umum tersebut, bersamaan. KRL Commuter Line contohnya, butuh orang-orang tangguh untuk berdesakan di dalamnya, menahan goncangan kereta dan dorongan dari menumpang lain, belum lagi menahan aroma orang di sebelahnya. Seperti lagunya Tulus, orang yang menggunakan Commuter Line adalah Manusia Kuat.
Di sisi lain para penumpang Bus Umum harus berdoa di setiap perjalanannya, agar tidak menemukan macet yang panjang. Para penumpang bus memang tidak sebegitu padatnya dengan Commuter Line, wajar karena mereka membayarkan biaya yang lebih dibanding dengan Commuter line. Namun perjalanannya tidak sebegitu tenangnya, dihantui rasa was-was. Kalau sudah menemukan perbaikan jalan di rute perjalan, hatinya langsung gundah gulana, khawatir telat melanda, dan meeting pun ditunda.
Sekali lagi saya bersyukur karena cita-cita saya bekerja di Jakarta tidak terwujud. Seandainya itu terjadi, saya pasti menghabiskan banyak waktu di perjalanan dengan penuh rasa lelah. Memang perjalanan di Bekasi tidak seterusnya lancar jaya, namun saya lebih sering menemukan jalanan lancar dibanding macet. Apalagi naik motor, bisa selap selip sana sini.